Monday 9 February 2015

Demit/Sengked, Koi, Gunung Bunder.

Berawal dari kisah sedih Sabtu lalu yang masih membayangi dan membuat saya penasaran. Kok bisa bisanya dari rumah ke KM Nol butuh waktu sampai 5jam? Rencananya sih Sabu tanggal 7 Pebruari mau "Remed" saja deh. Beberapa ajakan gowes masih saja kurang menarik hati. Salah satunya ajakan Om Jajang Azhar akan saya tampilkan di Lampiran gambar. Namun ada satu yang menarik hati. Satu tanjakan yang katanya super curam dan sulit untuk dilalui. Ditambah cerita Om Ridof Saputra Noor yang sering mondar-mandir di tanjakan situ, malah membuat saya semakin penasaran. Ada apa sih ditanjakan Demit alias Sengked?

*Percakapan saya dengan Om Jajang. Dokumentasi Pribadi.


Saya putuskan untuk ikut dengan Om Tomi yang mau ke Latpur Gunung Bunder Via Demit-Koi. Keluar kandang sudah terang, 06.00 tepat. Pengalaman dari "Kisa Sedih Dihari Minggu" membuat saya kapok untuk lewat Parung. Saya memutuskan untuk tidak bernangkat bersama dari tikum Pasadena. Saya pun janjian dengan Om Erwin untuk lewat jalur klasik CTA, BJD, CLT. ‪#‎YangSeringNaikCLpastiPaham‬

Awalnya saya janjian dengan Om Erwin dipertigaan Margonda, Pasar Lama, Kartini. Saya lupa kalau kediaman Om Erwin di sekitaran Mampang. Akan jauh lebih hemat tenaga jika Om Erwin lurus saja menyusuri sungai Krukut, *Cmiiw dan bertemu di PosPol Citayam. (Pasar Citayam) Akhirnya kami setuju merubah tikum. Sembari kelaparan, saya agak kejar waktu untuk ke Citayam.

06.30 sampai di Tikum, Om Erwin belum tiba, saya pun pergi ke ATM untuk isi pulsa. Selesai dari ATM saya lihat Om Erwin di sebrang jalan. Ok lah, selesai bertemu ditikum 1 kami makan dulu. 07.00 tepat kami bergerak meninggalkan tikum. Selesai menyebrang jalan saya membiarkan truk logistik Pertamina untuk lewat duluan. Ehhh, aduhh, baru ingat kalau jalan disitu super mepet untuk dilewati truk trailer tangki 24.000liter. Butuh waktu cukup lama untuk menyalip truk lebar yang satu ini.

Selepas jebakan truk trailer, masih ada jebakan kedua yaitu Pasar plus Stasiun Bojong Gede. Yaaa sudah lah sudah risiko melesati jalur ini. Jebakan demi jebakan berhasil di lalui. 07.48 kami sudah selesai melewati jalur klasik dan memasuki jalan baru menuju tikum dengan Om Tomi di perempatan selepas Lanud Atang Sanjaya. *Gak tau namanya

08.00 Tepat kami tiba bersamaan dengan rombongan Parung. Super cepat sekali yang lewat Parung ini. Di pimpin oleh Om Tomi, ada Om Jajang dan Om Agus Smt. Disini semua beristirahat menunggu Om Ammi Hamzah, Om Albert 'Gobeth' Yustus, dan om Iyus dari eNTe. Dapat kabar ternyata Om Ammi dan Om Albert terlambat dan terlalu jauh jaraknya bila di tunggu. Segingga diputuskan untuk bertemu dipertigaan CuNang. Artinya Om Albert dan Om Ammi tidak melewati tanjakan Sengket Bin Demit. Sementara Om Iyus Menunggu didekat Terminal Laladon.

08.30 Kami berangkat menuju Terminal Laladon. Setelah bertemu Om Iyus, Kami berangkat menuju Tanjakan Demit. Jalan Menuju demit termasuk ngeselin menurut saya, datar tapi naik. memasuki areal perumahan dan jalan yag mulai tidak halus. Bertemu pemandangan indah dan ada jembatan kecil di ujung jalan. Setelah jembatan, jalan berbelok kekanan dan saya hanya bisa menahan napas.

Mulai dicoba mengicrik terus saja perlahan rasio pun berubah menuju rasio paling ringan. 24-30 terus dan terus dan bagian depan sepeda mulai terangkat kecil, lama-lama semakin tinggi dan yahh pasrah. Da akumah apa atuh Karakter tanjakan di sini tidak jauh berbeda dengan salah satu tanjakan paling curam di KM Nol Via Boneng. Bedanya kalau di Boneng tidak lama setelah ban sepeda bolak-balik ngangkat, tanjakannya habis. Sementara di Demit, Ahh sudah lah. Nasib Saya dan Om Jajang sama saja. Om Jajang lebih parah dengan Chainring terkecil 30 dan cog terbesar 28 *Cmiiw Om Jajang.
Setengah tanjakan habis, Ada hadiah disini. Pemandangan kebawah yang lumayan bagus. Lalu dilanjutkan ke tanjakan terakhir. Terlihat Om Erwin didepan sedang istirahat. Sambil menuntun saya sampai disana dan istirahat bersama. Sambil Bertanya Foto Om Ridof disebelah maha yah? Mungkin masih di atas jawab saya sotoy. Om Jajang pun muncul masih penasaran dengan mencoba gowes dan akhirnya berhenti bersama.

Saya memutuskan lanjut. Sudah lah tidak perlu penasaran dengan kondisi ini. Kami bertiga semua lanjut bergerak. Kalau saya sih TTB duluan. Gak tau yang dibelakang. Sampai hampir di ujung tanjakan, ada sebidang tanah kecil. Sepertinya bagus untuk ambil foto dari sini. Tak lama berselang, Om Agus yang menunggu kami di atas, muncul dengan berjalan kaki. Sepedanya terparkir rapi di ujung tanjakan sana. Kena Candid deh. Lanjut menyelesaikan tanjakan, sebenarnya sudah memungkinkan untuk digowes. Tapi saya tidak mau memaksakan diri. Takut putus rantai. ‪#‎AhhAlasanPadahalMahMales‬

*Istirahat di sebidang tanah menjelang ujung anjakan. Foto: Om Agus


*Saya menuntun sepeda di ujung tanjakan Demit/ Sengked. Terlihat Om Jajang dan Om Erwin sedang bersiap untuk gowes. Foto: Om Agus

Parkir disebelah sepeda Om Agus, saya duduk di bale. Ohhh jadi ini yang namanya tanjakan Demit? KEJAM ternyata. ‪#‎SambilNangisGarukGarukAspal‬ Belum lama duduk, Om Agus mengucapkan kata saktinya. "Ditunggu di warung" saya pun langsung ambil langkah kaki seribu ambil sepeda dan gowes. ternyata warungnya dekat hanya 100 meteran.
Diwarung pesan es teh manis panas. Sembari istirahat, Om Iyus menyarankan untuk menambah tekanan angin ban belakang saya. Memang terasa empuk tapi sudah keras. Di pompa pun cukup ngeri dan berhati-hati. Tekanan minimum 50psi memang menjengkelkan. Selepas warung, tanjakan masih saja ada. namun tidak begitu parah. Finish terakhir di sebuah pertigaan, Saya kurang memperhatikan aba-aba dari Om Tomi, dan saya start duluan. Jalan menuju Curug Nangka sudah pernah saya lewati sebelumnya. Tanjakannya ringan dan tidak habis-habis. Masih aman lah, masih bisa pakai chainring 34.

Menjelang pertigaan CuNang Om Tomi dan Om Jajang menyalip saya yang sedang kehausan. Tidak bertemu Om Albert, Om Tomi langsung turun menuju jalan kearah Curug Luhur. Saya tidak mau ketinggalan, turunannya asik. Kami berhenti disebuah warung yang cukup asik posisinya. Sesuai trik colong start, Om Tomi pun menyarankan saya untuk start duluan. Terus saja ikuti jalan, sampai bertemu sebuah minimarket didekat SDN Tenjolaya.

*Pertigaan dekat warung, saya sudah start duluan Foto sepertinya oleh Om Agus

Jalan disini mendaki gunung, lewati lembah, sungai mengalir indah kesamudra, bersama teman bertualang. Tempat yang baru belum pernah terjamah, suasana yang ramai di tengah kota. Ehh kokk malah nyanyi. Jalan turunan lumayan sejuk dan sepi. Sesuai arahan Om Tomi, setelah turunan, ada jembatan, lalu ada tanjakan dan ketemu deh sama SDnya. Tapi setiap habis turunan, jembatan, tanjakan lalu turunan lagi dan begitu seterusnya, saya belum menemukan SDN Tenjolaya yang dimaksud.

Entah sudah berapa lembah dilalui, akhirnya bertemu dengan minimarket, pertigaan dan SDN Tenjolaya. Om Tomi belum tiba. Saya putuskan untuk beli minuman dingin diminimarket. Kurang beruntung, pelanggan sebelum saya lama sekali di kasir. Belum lunas minuman ini, Om Tomi dan Om Jajang sudah sampai, namun tidak melihat sepeda saya yang menyempil di area parkir minimarket.
Setelah lunas, Cari-carian pun dimulai. Tak lama berselang, kami berkumpul. Setelah tim lengkap, Kami berdiskusi sebentar. Mengingat jalur yang akan di lalui cukup sulit dan tidak terlalu banyak yang mengetahui jalur pintas tersebut. Ada dua pilihan jalan lewat Koi (Jembaan Bambu) atau sedikit memutar lewat jalur biasa yang tembusnya jauh ke Gunung Bunder tetapi jalan aspal.

*SDN Tenjolaya. Gambar yang saya kirim melalui aplikasi chating kepada Om Tomi untuk menunggu arahan selanjutnya. Dokumentasi pribadi

Pertimbangan saya adalah medan jalan yang bukan aspal atau beton cor. Jika harus melewati track tanah sangat menakutkan bagi saya. Akhirnya kami memutuskan untuk tetap melewati jalur Koi. Saya dan Om Jajang duluan. Sesuai arahan ada musola, ada pertigaan, belok kanan. Setelah belok kanan, jalan cor ini semakin lama semakin mengecil dan terhenti di persawahan. Saya berhenti, Aplikasi GPS manual pun tidak sanggup mengarahkan kami ke jalan yang benar. Berkali-kali bertanya tidak ada yang mengetahui jalan menuju peternakan ikan KOI. Bahkan warga tidak ada yang mengetahui keberadaan peternakan ikan disana. Semua peserta ikut tersesat dan tak tau arah jalan pulang. Hanya Om Agus yang bersama Om Tomi.

Ternyata kami salah belok kanan. Seharusnya kami belok kanan setelah musola dan satu tanjakan kejam.Titik cerah pun datang, Om Iyus mendapat pesan dari Om Tomi untuk mencari jalan menuju Koi. Sesuai arahan kamipun berhasil menemukan sebuah desa yang indah di pandang mata. Lebih segar dibanding jalan menuju Lewi Hejo. Jalan menurun dengan medan cor berlumut. Setelah turunan, terbitlah tanjakan.

Tanjakan cukup curam nasibnya sama seperti Demit. Diujung tanjakan ada jalan turunan yang berlanjut menanjak lagi. Selepas menikmati turunan, perpindahan chainring yang sempurna, tanjakan saya usahakan untuk tidak turun. Namun kali ini lebih kejam. Ban depan terangkat sampai benar-benar terbalik sepedanya. Orangnya sih sempat loncat. Seorang ibu-ibu bertanya kemana tujuan kami. ternyata di ujung tanjakan itu jalan buntu. waduhhhh

Si ibu pun melanjutkan bicaranya kalau mau ke jembatan bambu belok kanan. Wihhhh beruntung. Terimakasih ibu warung yang baik hati. Jalanya turunan dan berujung singel track dan berujung jembatan bambu. Horeeeeee Gunung Bunder sudekat. Lolos jembatan bambu, trek cor berlumut menanjak kembali menjebak. Treknya pendek langsung terlihat keindahan lebah desa tersebut disisikiri jalan. Banyak kolam ikan koi terlihat kosong. Lanjut dan sudah capek, istirahat duduk-duduk. Lalu lanjut lagi sampai bertemu perumahan warga. Tanjakan "pendek" nya sudah habis, kami pun mulai bisa menggoes. Iya Kami semua baru mulai menggowes. Bau asap disel tercium, di depan ada jalan aspal dan ternyata kami sudah sampai di Gerbang Gunung bunder.

*Saya dijalan setapak menjelang jembatan bambu Foto oleh Om Jajang

Masih capek langsung pesan mi rebus dan kopi liong. Foto-Foto dan istirahat sampai jam 3 sore. Selesai Istirahat, kami turun agak gerimis kecil. Saya, Om Tomi, Om Agus start belakangan karena ada suatu hal. Turunan saya duluan. Buka jalan. Tidak seperti minggu lalu, jalan kali ini sepi. Tidak ada motor yang berjalan bersama. Mungkin karena hujan. Ya hujan memang turun deras sesaat setelah kami start.

Hujan terus mengguyur sepanjalng jalan menurun ke Cikampak. Jalan sepi, hujan dan bisa full speed, menjadi suatu hal yang asik bagi saya pribadi. Sesekali saya tengok belakang, Om Tomi Dan Om Agus masih terlihat. Oke berarti saya masih ingat kalau sepeda saya punya rem. Jalan aspal yang berlubang di beberapa titik menjadi satu hal yang asik. Setelah "Goyang" kanan kiri, menghindar lubang, lompat dan berbagai manufer menyiksa sepeda. akhirnya kami sampai di jalan utama.

Rombongan didepan sudah hilang karena hujan telah menghapus jejaknya. Sampai disini, Om Tomi kembali memimpin. Dengan bantuan GPS, kami mencari jalan yang lebih cepat dan dekat. Jalan cenderung sepi dan tenang. Lebih nyaman yang jelas. Jalan tersebut mengarahkan kami ke jalan raya Parung. Saya berencana pulang lewat Bojong Gede menghindari jalan Sawangan yang sudah pasti macet. Namun saya mulai terlena dengan jalan raya parung yang cenderung menurun, halus dan sepi. Di pertigaan menuju bojong gede, Om Tomi sudah menunggu menawarkan saya untuk lurus.
Terbayang jalan naik turun menuju jalan Tonjong dan macetnya kalau sedang apes, belum lagi jalan potong menuju jalan Karadenan yang cenderung naik turun berpasir dan menyedikhan kalau naik sepeda, akhirnya saya mengiyakan untuk lurus. Jalan ini ternyata tidak terlalu menyiksa kalau dibalik. Walau di tanjakan terakhir Om Tomi menghilang didepan dan saya di dahului oleh Om Agus yang nanjaknya pakai NOS.

Di pertigaan Parung Om Agus langsung melanjutkan perjalanan pulang. Sementara saya dan Om Tomi istirahat dan isi bahan bakar. Selesai istirahat, waktu menunjukan pukul 17.30 Kami bergegas menuju Depok.

Dan inilah yang berhasil membuat saya kapok kuadrat untuk lewat Parung. Kondisi jalan yang padat dan macet ditambah kondisi tubuh yang sudah lelah, membuat bersepeda menjadi super melelahkan. Jalan sepi saya masih bisa beriringan dengan Om Tomi. Namun selepas RSUD Depok, Kondisi jalan semakin tidak memungkinkan untuk berjalan beriringan. Jarak saya dengan Om Tomi semakin jauh dan akhirnya selepas pertigaan Limo, Om Tomi benar-benar hilang didepan.

Perjalanan pulang saya lanjutkan dengan santai. Setiap tanjakan saya TTB termasuk tanjakan terakhir di Pasadena. Bukan karena lelah namun karena tidak sanggup mengimbangi kondisi lalulintas. Jebakan macet masih terus mengiringi sampai bertemu jalan Margonda. Memasuki Jalan Siliwangi, saya melaju santai dan kondisi sudah gelap. beruntung jalan sedang lancar. Sampai dijembatan panus, saya ambil jembatan yang lama dan memotong jalan melewati pinggiran Ciliwung dan tembus di jalan Merdeka. Akhirnya tinggal satu tanjakan halus yang ada didepan. Terburu-buru menurunkan chairing, saya hilang kendali dan sempat tiduran di pinggiran jalan. hehehe Bangun dan akhirynya 18.45 sampai juga dirumah dengan selamat.

Profil seluruh perjalanan Mulai Start-Finish (Kiri-kanan) Pasadena Tanjakan Curam di kilometer 36 adalah tanjakan demit dan tanjakan curam di kilometer 54 adalah tanjakan Koi.


Oke sobat, Sampai di sini dulu. Terima kasih sudah "Sudi Mampir" di sarang codot yang terbengkalai ini.

No comments:

Post a Comment